PERANCANGAN KONTRAK & MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DALAM PEMERINTAHAN

Rp. 54.000
Overview :

Penerapan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) adalah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Hal ini berarti pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan lokal dalam rangka pembangunan dan pemerataan, terutama memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan potensi dan karakteristik masing- masing daerah (Kaho, 1997). Urusan yang diserahkan kepada daerah adalah urusan yang ditetapkan oleh UU Pemda, selain yang menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat. Sejalan dengan itu, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi yang nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintah yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakter daerah. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun otonomi yang bertanggung jawab menurut Kameo (2000) adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Seiring dengan prinsip-prinsip itu pula, penyelenggaraan otonomi daerah harus menjamin keserasian hubungan antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Artinya kinerja penyelenggara otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat luas. Selain itu, harus pula menjamin keserasian hubungan antara 1 daerah yang satu dengan daerah lainnya, sehingga mampu membangun kerja sama antardaerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah secara bersama dan mengentaskan terjadinya ketimpangan antardaerah. Kesemuanya itu dalam satu kerangka utama dan akhirnya juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan pemerintah pusat. Dengan kata lain, mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional (Kameo, 2000: 15). Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dalam bentuk meningkatkan pelayanan, perlindungan, kesejahteraan, prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat, menumbuhkembangkan demokrasi, pemerataan dan keadilan serta persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional dengan mengingati asal-usul suatu daerah, kemajemukan dan karakteristik, serta potensi daerah yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem NKRI. Oleh karenanya, pemerintah wajib memberikan fasilitasi dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu berbentuk pemberian pengaturan, pedoman, standar, arahan, petunjuk, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengawasan, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Daerah sebagai pelaksana otonomi wajib untuk mengikuti dan mentaati fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah. Atas dasar konsep model otonomi yang dianut tersebut, maka penempatan otonomi diupayakan sedekat mungkin dengan masyarakat. Oleh karena daerah otonom yang paling dekat dengan masyarakat adalah daerah kabupaten dan kota. Sehingga pada daerah inilah, semestinya kewenangan otonomi itu diberikan dengan porsi yang lebih banyak, baik secara kuantitas maupun jenisnya, kecuali dalam UU Pemda atau undang-undang lain diatur tersendiri. Sementara kepada provinsi juga diberikan otonomi untuk menangani urusan 2 pemerintahan yang dikelompokkan dalam urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh provinsi dan urusan pilihan lainnya dan berskala regional serta urusan yang sifatnya lintas kabupaten/kota. Secara hukum, pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, dengan memperhatikan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintah antar- strata pemerintahan, dan mendasarkan pada urusan pemerintah yang bersifat concurrent, artinya urusan pemerintah yang dikerjakan bersama antar-tingkatan pemerintahan (Kameo, 2000: 26). Urusan pemerintah yang tetap ditangani oleh pemerintah sendiri adalah urusan yang mengindikasikan adanya jaminan eksistensi Negara Kesatuan, yaitu urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, fiskal nasional, yustisi, agama dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang tidak diserahkan kepada daerah, seperti urusan yang bersifat lintas negara, lintas provinsi dan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Sejalan dengan hal itu, daerah kabupaten/kota dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi di daerahnya dapat menetapkan dalam wilayah kerjanya lahan-lahan tertentu sebagai lokasi pengembangan sektor-sektor tertentu pada skala daerah. Lahan tertentu tersebut misalnya lahan untuk pengembangan perumahan, industri kecil, pariwisata, ekonomi terpadu, perdagangan, pengelolaan pelabuhan dan sebagainya yang semuanya dalam skala daerah sesuai dengan tata ruang daerah. Dalam melaksanakan otonomi daerah, tak jarang pemerintah daerah melakukan kerja sama dengan pihak swasta atau pihak lain guna mendukung dan mempercepat pembangunan dan pelayanan publik. Misalnya saja kerja sama Pemerintah Kota Tanjungpinang dengan PT. (Persero) Pelindo I Cabang Tanjungpinang yang kemudian diikuti pembuatan Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) Nomor B.XII- 3 42/PI-US.14 dan Nomor 119/HK/01/2005 yang ditandatangani pada tanggal 23 Maret 2005. MoU terkait pelayanan jasa kepelabuhanan ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara PT. (Persero) Pelindo I Cabang Tanjungpinang dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang Nomor US.11/1/16/TPI-05 dan Nomor 119/DISHUB/160 tertanggal 20 Juli 2006. Perjanjian ini mengatur tentang Pengelolaan Pas Terminal Penumpang Luar Negeri di Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang. Kendati demikian, menurut penulis, terdapat indikasi bahwa MoU tersebut bertentangan dengan undang-undang. Khususnya terhadap beberapa ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi landasan hukum pada saat MoU itu dibentuk. Pada Pasal 158 ayat (2) misalnya, menyebutkan bahwa pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang. Lalu pada Pasal 158 ayat (3) menentukan pula hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf (a) angka (3) dan lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf (a) angka (4) ditetapkan dengan Perda berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Di samping itu, MoU tersebut bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Pasal 32 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai jenis, struktur dan golongan tarif jasa pelabuhan yang diberikan di pelabuhan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sementara pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan, secara tegas dalam Pasal 46 ayat (3) disebutkan bahwa dalam melaksanakan kerja sama dengan Badan Usaha Pelabuhan, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang khusus didirikan untuk mengusahakan Jasa Kepelabuhan. Pada kenyataannya Pemerintah Kota (Pemko) Tanjungpinang belum memiliki BUMD saat membuat MoU tersebut.

Baru saja ditambahkan
Chat dengan kami di Whatsapp!
Hi, ada yang bisa kami bantu?